Breaking News

Saat Dua Turis India Asal Malaysia Beri Nasihat Agar Aceh Sejajar Berdiri Seperti Negeri ‘Petronas’

BANDA ACEH | Kedua turis etnis India yang memiliki passport Malaysia sudah dua hari berada di Banda Aceh, menurut pengakuan Abdul Hamid (73 thn) dan Abdul Nazar (52thn) mereka kemarin (Kamis, 09/01/2025) baru saja berkeliling melihat situs museum tsunami, makam keramat Syiah Kuala, kapal apung hingga pantai Lampuuk.

“Kami pun sudah beli kopi, dan songkok khas Aceh”, tutur Abdul Nazar kepada Asumsipublik.id yang menemani mereka sarapan pagi di depan Mesjid Raya Baiturrahman, Jum’at (10/01/2025).

Mereka berdua juga menanyakan keberadaan Kedutaan Malaysia di Aceh, saya menjawab tidak ada sebab Indonesia semua terpusat di Jakarta.

Saya juga berkata sebenarnya sah-sah saja jika kami (Aceh) memiliki kedutaan Malaysia tersendiri mengingat beberapa poin hukum dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) membenarkan perkara itu.

Ide sentralisasi terpusat di Jawa selama ini bukan hanya menghambat kemandirian daerah tetapi juga banyak dikeluhkan oleh pengusaha yang hendak menanam modal lebih banyak di Aceh agar bisa mendirikan pabrik disini.

Saya yang dua tahun sempat bekerja di Malaysia menyaksikan sendiri bagaimana Malaysia menjadi negara maju sebab angka pertumbuhan investor sangat dominan di semua sektor.

Mulai dari otomotif, elektronik hingga produk makanan. Sebidang lahan di Selangor telah dijadikan sebagai lahan serupa Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong, Krueng Raya, Aceh Besar namun dari sisi kemudahan dan jaminan pelaksanaan keamanan benar-benar dilaksanakan penuh tanggung-jawab dengan pengawasan berkala yang berpihak kepada kemajuan antara Investor dan Pemerintah Malaysia.

Ketika pabrik pemrosesan ayam, kayu, otomotif dan elektronik sangat bertumbuh disana, maka daerah penyuplai bahan baku seperti kandang ayam intensif banyak bertumbuh di negri jiran.

“Menurut encik apa yang boleh kita buat agar Aceh bisa berdiri sejajar dengan Malaysia dari bidang perekonomian?”, tanya saya.

“Saya melihat kalau Aceh membuat pabrik tekstil pasti kalah dengan China dan Korea sebagai pemasok pakaian murah”, ujarnya.

Akan tetapi lanjut Abdul Hamid yang memiliki beberapa usaha grosir di Sungai Besi, Kuala Lumpur melihat kondisi geografis dan kesuburan tanah di Aceh saya merekomendasikan peternakan ayam dan kambing bagus dibuat disini.

“Suasananya bagus untuk membela ayam dan kambing, dan nanti boleh ekspor ke Malaysia”, kata Abdul Hamid.

Saya begumam didalam hati “mungkinkah, kita bisa mandiri dan ekportir juga kedua komoditas peternakan itu?”

Abdul Hamid juga saya tanyai kalau produk pertanian? “Pepaya dan mangga bagus jika di lakukan secara intensif,” tukasnya.

Saya waktu di Jakarta juga pernah bertemu dengan pengusaha asal Malaysia, dia meminta saya agar mengirimkan santan kaleng berukuran 400 mililiter agar dikirimkan sebanyak 18.000 kaleng setiap bulan.

Saat itu saya menghubungi pabrik santan yang berada di Simeulue Barat, PT. Green Enterprise Indonesia pemiliknya orang Selandia Baru bernama Juan Dunlop.

Namun beberapa waktu kemudian saya mendapati kabar pabriknya bakal dipindahkan ke wilayah Sumatera Utara karena sudah beberapa kali di demo warga akibat pencemaran lingkungan.

Saya berpikir apa gunanya tes amdal yang dibikin oleh negara jika keputusannya memberi izin dan pengawasannya lemah terhadap perusahan yang sudah berdiri, padahal fungsi pemerintah menjamin keberlangsungan usaha investor dan selain itu juga bisa mengkondisikan situasi yang aman bagi lingkungan dan masyarakat secara bersama-sama.

Sehingga Investor bisa untung, negara bisa untung dan rakyat pun tidak terganggu.

Malaysia mensyaratkan setiap investor yang masuk wajib mempekerjakan warga asli Malaysia sebesar 50% dari sumber daya manusia di perusahaan yang masuk.

Dengan gaji yang ditetapkan oleh Malaysia dan mereka juga menyiapkan standar mutu pekerja Malaysia yang dihasilkan dari beragam universitas yang sejak tahun 1990 sudah berdiri di Malaysia sebagai persiapan Malaysia Maju 2025.

Namun pertemuan kami dengan kedua turis etnis India asal Malaysia itu sedikit pecah akibat saya mengatakan destinasi Genting Hingland Malaysia agar dibuat di Aceh.

Mereka melarang, sebab katanya Aceh negeri syariat, bisnisnya harus menjunjung tinggi nilai keislaman, “Harus halal, di Genting Hingland ada perjudian,” ucap Abdul Nazar.

Mereka berdua melihat dengan biaya tenaga kerja dan produksi yang masih tergolong murah Aceh bisa berdiri sejajar dengan negeri Jiran 10 tahun yang akan datang jika dimulai dari sekarang menyiapkan sektor-sektor peternakan dan pertanian tadi jadi komoditas yang menguntungkan.

Mereka juga menambahkan kelautan juga tak kalah penting untuk di optimalkan.

Semua terpulang ke Aceh, bulan soal kapan maju. Sebab kapan pun Aceh memulai memperhatikan sektor-sektor penting ini pasti mereka bisa mengejar kami negeri Jiran.

Sepulang dari sarapan itu kami berpisah setelah saling menukar kontak seluler, saya berjalan dibawah pelataran bawah tanah Mesjid Raya Baiturrahman, dan saya melihat banyak pria dewasa sedang tertidur pulas, sepertinya mereka pendatang dari luar Banda Aceh yang tidak memiliki keluarga dan pekerjaan dan hampir putus harapan, sehingga mereka menghabiskan waktu pagi hanya untuk tidur.

Nah disini pemerintah Aceh yang baru harus peka dan peduli, bahwa untuk sebuah kemajuan tak cukup sekedar menaklukkan lawan politik, tetapi juga harus secara visioner melihat peluang, tantangan dan realita yang harus diselesaikan secara jujur dan amanah agar masyarakat Aceh bisa bangkit dari label provinsi termiskin di Sumatera.

Sumber : RSM
Editor    : Redaksi (Ir)
© Copyright 2022 - Asumsi Publik - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini