Breaking News

Keterlibatan Oknum BPN "NB" di Notaris Nurdhani & "SA" di Duga Bersekongkol Merekayasa Tanah Milik Bersama Untuk Kepentingan Pribadi

BANDA ACEH | Oknum BPN Kota Banda Aceh bernama NB diduga keterlibatannya dalam merekayasa stempel pada sertifikat tanah nomor 394 dan 395 seluas 83.075 m dari milik 8 orang ahli waris yakni Said Amir (alm), Said Adan (alm), Said Abidin (alm), Said Andrian (Said Adnan, berganti nama secara illegal tanpa prosedural di pengadilan), Said Hamid (alm), Said Razadin (alm), Syarifah Akmal (almh) dan Syarifah Ainal menjadi 1 orang yaitu Said Adnan tertanggal 8 November 2007.

Kemudian berdasarkan surat jual-beli kosong tertanggal 25-06-2014 yang difasilitasi dan diterbitkan akte jual-beli oleh Notaris Nurdhani, SH, MM yang berlalamat di Sp. Surabaya menduga untuk memperoleh tanda tangan dari seluruh ahli waris agar bisa leluasa memalsukan sertifikat dari kepemilikan 8 orang menjadi 1 orang dengan merekayasa stempel BPN agar nama Said Andrian (Adnan) dapat dimanipulasi menjadi Said Adnan tanpa proses hukum balik nama di pengadilan dan persetujuan dari semua ahli waris.

Akibat dari kejahatan ini pembagian harta waris yang telah di sepakati sesuai hukum Islam antara 8 orang ahli waris menjadi rusak.

Berdasarkan pembagian dari Said Amir sebagai orang yang paling dituakan di keluarga kedelapan ahli waris memperoleh bagian masing-masing sesuai yang telah disepakati.

Menurut pembagian warisan yang disepakati bersama tanah yang berlokasi di Lambaro Skep seluas 105.167 meter itu telah dibagi menjadi 165 bagian, yang mana Said Amir bin Habib Cut memperoleh 20 ditambah hak mengurus 14 menjadi 34 bagian, Syarifah Akmal memperoleh 10 ditambah hak urus 17 jadi 27 bagian, Said Razadin memperoleh 20 ditambah hak urus 4 jadi 24 bagian, Said Hamid, Said Adan, Said Abidin masing-masing memperoleh 20 bagian, dan Said Adnan binti Syarifah Zainura dan Syarifah Ainal masing-masing mendapatkan 10 bagian.

Said Adnan dalam pembagian harta waris sesuai amanah orangtua memperoleh 10 bagian karena mewarisi dari Ibunya Syarifah Zainura.

Diketahui sebelumnya, Kronologisnya Syarifah Akmal semasa hidup pernah meminta kepada Said Amir hak waris 4 hektar dari 10,5 hektar, namun tidak diberikan. Setelah Said Amir meninggal tahun 1989 Syarifah Akmal melakukan sertifikasi atas tanah 10,5 ha menjadi 8,3 ha. Diatas sisa itu yakni 2,2 hektar ada indikasi penguasaan tanah untuk kepentingan diri sendiri, namun sayangnya ia meninggal dunia pada peristiwa tsunami Desember 2004.

Pada tahun 2006 Said Amin bin Said Amir pernah mengusulkan dan menyanggah kepada BPN Kota Banda Aceh agar sisa tanah 2,2 hektar tersebut atas nama seluruh ahli waris supaya tidak diterbitkan sertifikat atas nama siapapun.

Namun BPN Kota Banda Aceh dengan alasan yang tidak logis telah menerbitkan sertifikat atas nama Zubair dan Mustafa Umar diatas alas hak milik bersama. Dan menurut informasi yang diperoleh Asumsipublik.com dari Salah seorang ahli waris bernama Said M. Amin diatas tanah itu bakal terbit sertifikat atasnama Hasyim Syeh, Tarmizi Taher (mantan keuchik Lambaro Skep) dan Abdul Hadi, dan lain-lain yang belum diketahui secara pasti, karena BPN Kota Banda Aceh tidak pernah kooperatif terhadap masalah ini. Padahal tahun 2006 salah seorang ahli waris telah menyurati BPN Kota Banda Aceh agar tidak menerbitkan sertifikat atas nama siapapun diatas tanah tersebut.

Sampai saat ini pihak ahli waris sudah dirugikan dan mengajukan keberatan kepada BPN Kota Banda Aceh karena telah mengeluarkan sertifikat kepada yang tidak berhak (bukan alas hak mereka).

Sampai saat ini BPN Kota Banda Aceh tidak pernah bersikap terbuka atau kooperatif kepada ahli waris, mereka tidak memberikan data mutakhir tentang situasi kepemilikan tanah 10,5 hektar tersebut.

Said Amin bin Said Amir memohon semua permasalahan ini dapat diselesaikan oleh Menteri ATR agar kepemilikan tanah dan pembagian waris dapat dikembalikan seperti semula, Dan sebagai salah seorang ahli waris Said Amin bin Said Amir bersedia dipanggil untuk menjelaskan duduk perkara tanah warisan Habib Cut seluas 105.167 meter itu sejak di eksekusi oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh tahun 1980 sampai diterbitkan surat ukur tahun 1984 yang keluarkan oleh Agraria tahun 1984.

Tanah yang berlokasi di Lambaro Skep ini dulu bernama Lamkrud Lambaro Kayee Adang, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Proses kepemilikannya bermula dari Sultan Jamalul Alam Badrul Munir Al-Jamalullail untuk diwariskan kepada anak cucunya, dibeli tahun 1157 Tahun Hijriah (sebelum Indonesia merdeka tanah tersebut sudah disertifikasi oleh Kerajaan Aceh) dan diperkuat oleh Sultan Teuku Sulaiman Ali Iskandarsyah yang diakui oleh Kerajaan Aceh dan disertifikasi oleh Kesultanan Tahun 1266 Hijriah. 

Tim jurnalis yang diminta oleh pihak kepemilikan tanah dasar, terus menganalisa, terkait pernah memublikasikan pada tahun 1960 bahwa tanah seluas 350 hektar sesuai batas yang disebutkan di wilayah Lambaro Skep (Lamkrud Lambaro Kayee Adang) adalah milik Jamalullail.

Tanah tersebut masih tercatat sebagai ulayyat di kesultanan Aceh. Dibeli dengan uang pribadi Sultan Jamalullail.

Sumber : Rizki Satria Manalu
Editor    : Redaksi (Ir)
© Copyright 2022 - Asumsi Publik - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini