ACEH | Undang-Undang Pemerintahan Aceh telah berusia 18 tahun sejak ditetapkan 1 Agustus 2006 silam. Seiring berjalannya waktu dan kebutuhan publik di dalamnya, cukup banyak bahasan tentang rencana melakukan perubahan terhadap UUPA baik diskusi pada forum-forum resmi politik, akademis, dan lintas stakeholder yang memperjuangkan ragam kepentingan.
Lantas bagaimana dengan gampong? Akankah ada perubahan pada UUPA terkait gampong yang dapat beririsan dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Gampong dalam UUPA dan Turunannya
Terdapat tiga pasal dalam UUPA yang mengatur tentang gampong. Secara umum, pasal dan ayat di dalamnya menjelaskan tentang pemerintahan gampong yang terdiri atas keuchik dan tuha peuet, masa jabatan 6 tahun bagi keuchik dan dapat dipilih hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya, kedudukan sekretaris gampong dan perangkat gampong, dan pengaturan tentang penataan gampong.
Ada pula dua ayat pada Pasal 117 UUPA yang memberi mandat kepada Pemerintah Aceh untuk mengatur tentang tata cara pemilihan keuchik dengan Qanun Aceh dan mandat kepada kabupaten/kota untuk mengatur mengenai kedudukan, fungsi, pembiayaan, organisasi, dan perangkat pemerintahan gampong dengan qanun kabupaten/kota.
Konsekuensi dari mandat tersebut, telah berjalan pula pelaksanaan pemilihan keuchik di Aceh yang berpedoman pada Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik di Aceh. Sebagian besar kabupaten/kota juga telah menetapkan qanun kabupaten/kota tentang pemerintahan gampong atau sejenisnya.
Selain itu, pada pasal dan ayat lainnya dalam UUPA juga disebutkan tentang gampong. Misalnya pada Pasal 6 ayat (5) perihal pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk badan pengelolaan pembangunan di kawasan gampong yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan, Pasal 7 ayat (3) huruf d dan Pasal 15 ayat (3) tentang penugasan sebagian urusan Pemerintah kepada gampong berdasarkan asas tugas pembantuan yang disertai pendanaan, dan tugas-tugas pembinaan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan gampong yang melekat secara berjenjang mulai tingkat kabupaten/kota, kecamatan, hingga ruang lingkup mukim.
Perlukah Perubahan?
Jika mencermati pasal dan ayat tentang gampong dalam UUPA, ruang lingkupnya sangat terbatas. Pengaturan yang lebih rinci banyak kita jumpai di Qanun Aceh atau qanun kabupaten/kota. Menurut saya, bila memang diperlukan perubahan UUPA atau turunannya, butuh penggalian gagasan yang lebih mendalam oleh para pihak untuk memperkaya substansi khusus selain yang telah diatur secara umum dalam UU Desa.
Pada tulisan ini, saya merujuk UU Desa sebagai bahan perbandingan UUPA, sembari berharap akan terbuka ruang diskusi bagi yang mempertahankan atau mengubah status quo.
Pertama, terkait periode jabatan keuchik. UU Desa pada Pasal 39 mengatur masa jabatan kepala desa selama 6 (enam) tahun dan dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Perbedaan periode 2 atau 3 kali dengan UUPA dapat menjadi titik kajian.
Apakah tetap mempertahankan 2 periode bagi keuchik sehingga tampil beda dari provinsi lainnya, atau ikut 3 periode layaknya UU Desa? Apa pula pertimbangan perubahannya? Apakah untuk memberi kesempatan kepada mantan keuchik 2 periode, atau memberi jalan bagi perjuangan keuchik terpilih yang berusia relatif muda? Ataukah karena 3 periode keuchik lebih menjamin kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan gampong?
Kedua, dinamika pengangkatan Sekretaris Gampong dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apakah Pasal 116 ayat (2) UUPA ini tetap dipertahankan? PNS dengan pangkat/golongan atau kriteria apa yang dapat diangkat sebagai sekretaris gampong? Apakah jabatan sekretaris gampong termasuk jabatan struktural dengan eselon tertentu di era agenda penyederhanaan birokrasi saat ini?
Sekretaris desa merupakan perangkat desa yang diangkat dari warga desa. Artinya, tidak wajib perangkat desa harus diangkat dari PNS daerah. Namun, bila salah satu warga desa yang berprofesi sebagai PNS ingin menjadi perangkat desa, Pasal 67 UU Desa mewajibkan yang bersangkutan mendapatkan izin tertulis dari pejabat pembina kepegawaian. Fleksibilitas ini justru lebih sederhana. Akan tetapi, jika pasal 116 UUPA ayat (2) tersebut tidak perlu diubah, menurut saya perlu rencana pelaksanaan yang lebih terukur dan realistis. Lebih penting lagi, apakah pengangkatan sekretaris gampong dari PNS dapat menjamin tertibnya administrasi dan lancarnya tugas-tugas pemerintahan di gampong?
Ketiga, hubungan gampong dengan mukim dan pembangunan kawasan perdesaan berbasis mukim. Pasal 114 UUPA ayat (1) menyebut dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong. Sejauh ini, sepertinya hubungan pemerintahan antara gampong dan mukim tidak lebih besar dibanding hubungan adat istiadat dan syariat islam. Tugas pembinaan dan pengawasan pemerintahan gampong justru sangat besar perannya pada Camat melalui fungsi fasilitasi, koordinasi, dan rekomendasinya.
Sebab itu, perlu pengaturan bagi gampong untuk berinteraksi lebih banyak dengan mukim sekaligus memperkuat peran mukim dari sisi dukungan penyelenggaraan pemerintahan gampong, baik melalui penambahan pasal di UUPA atau melalui Qanun Aceh.
Misalnya, kerja sama yang dilakukan antargampong dalam satu kemukiman. Penyusunan dan pembahasan rancangan qanun gampong yang berdampak luas, contohnya qanun tentang penertiban ternak atau sejenisnya. Koordinasi saat menyusun Daftar Usulan RKPG kepada pemerintah kabupaten/kota. Pemanfaatan SDA atau pelaksanaan pembangunan di gampong wajib memperhatikan dampak lingkungan. Hingga pembangunan kawasan perdesaan berbasis mukim yang berorientasi potensi lokal antargampong pada lintas sektor ekonomi atau ragam produk unggulan. Urusan gampong yang membutuhkan sentuhan penting dari imum mukim.
Keempat, melakukan evaluasi terhadap turunan UUPA. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009. Pada Pasal 31 ayat (1) qanun tersebut, dijelaskan bahwa pemberian suara dilaksanakan dalam bilik suara dengan memasukkan surat suara dalam kotak suara salah satu calon yang dipilih.
Cara pemungutan suara ini tentu berbeda dengan cara mencoblos gambar salah satu calon pada surat suara dan memasukkannya pada kotak suara, sebagaimana yang telah familiar dipahami sebagian besar masyarakat pada perhelatan pemilu. Apalagi di era demokrasi dan besarnya Dana Desa saat ini, banyak masyarakat mendaftarkan diri menjadi calon keuchik. Tentu akan berdampak pada borosnya jumlah kotak suara sesuai jumlah calon dan jumlah TPS. Akan lebih aneh lagi jika ketentuan tersebut tetap dipertahankan, tapi pelaksanaannya justru mengacu kebiasaan pemungutan suara pemilu.
Masa Depan Gampong
Saya yakin akan banyak ide dan gagasan lainnya yang dapat dilahirkan untuk kemajuan gampong melalui semangat perubahan UUPA, turunannya, atau upaya lainnya. Sebuah kutipan Sutoro Eko pada halaman penutup buku Bergerak Menuju Mukim dan Gampong kiranya menjadi inspirasi bagi para pihak yang memperhatikan wacana ini: “Aceh akan menjadi lebih baik dan kuat di masa depan bila berbasis pada Gampong dan Mukim yang berdaulat secara politik, bertenaga secara sosial, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.”[*]
Social Header