JAKARTA. Dewan Pers tak lagi dapat menentukan sendiri peraturan pers terhadap konstitusinya, karena tugas Dewan Pers hanya menyelenggarakan, tanpa ikut menentukan isi dari peraturan di bidang pers
Berdasarkan keputusan Mahkamah Konsitusi yang dikutip dalam Goodnews.co.id menegaskan bahwa, Dewan Pers yang ada saat ini merupakan keberlanjutan dari keanggotaan Dewan Pers sebelumnya, bahkan keberlanjutan dari Dewan Pers periode 2000-2003 (Dewan Pers periode pertama yang dibentuk segera setelah pengesahan dan pengundangan UU Pers 40/1999).
Dengan demikian, Ketum DPP SPRI Hence Mandagi mengatakan, melalui siaran pers yang dikirim ke redaksi, Rabu (11/1/2023), benang merah yang selama ini terputus oleh karena ada keputusan Dewan Pers yang secara sepihak menentukan sendiri isi peraturan pers tentang Konstituen Dewan Pers, maka berdasarkan putusan MK, peraturan itu menjadi tidak berkekuatan hukum.
Karena menurut pertimbangan MK, maksud dari “memfasilitasi” adalah menegaskan bahwa Dewan Pers hanya menyelenggarakan tanpa ikut menentukan isi dari peraturan di bidang pers tersebut. Dengan demikian, majelis MK mengakui keberadaan organisasi-organisasi pers yang tercatat ikut memilih Dewan Pers pada tahun 2000 yakni terdapat 40 organisasi pers.
Dewan Pers selama ini memanfaatkan dokumen Penguatan Dewan Pers yang ditentukan oleh puluhan organisasi pers pada tahun 2006, bersamaan dengan dokumen kesepakatan bersama menyusun peraturan pers tentang Standar Organisasi wartawan dan Standar Organisasi Perusahaan Pers.
Dalam dokumen konsensus bersama itu, tidak ada satupun pasal dan klausul yang memberi kewenangan Dewan Pers untuk mengatur tentang Organisasi Konstituen Dewan Pers berdasarkan penguatan Dewan Pers, Standar Organisasi wartawan, dan standar Organisasi Perusahaan Pers.
Dewan Pers harus menghormati pertimbangan hukum dan putusan MK terkait perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jadi kalau saat ini ada polemik di internal Dewan Pers terkait penetapan pelaksana tugas Dewan Pers pasca Ketua Dewan Pers wafat, dianggap bertentangan dengan Peraturan Dewan Pers tentang Statuta DP sebetulnya sudah selesai di MK.
Tokoh pers dan mantan Anggota DP Hendri Ch Bangun boleh saja mengkritik DP dan menganggap Peraturan DP tengang Statuta tidak bisa asal dirubah demi memuluskan Agung Dharmajaya sebagai Plt Ketua DP.
“Seharusnya mereka semua elit di lingkaran Dewan Pers yang terlibat konflik perlu membaca lagi putusan MK yang tidak memberikan kewenangan DP menentukan sendiri isi peraturan pers,” imbuhnya.
Dijelaskan juga, Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IX/2016 tentang Statuta Dewan Pers hanya ditentukan sendiri oleh 9 Anggota DP dan bukan oleh 40 organisasi pers yang diakui MK, harusnya batal dan tidak memiliki kekuatan hukum.
“Dewan Pers saat ini telah menjadi status quo. SK Presiden tentang pemberhentian dan pengangkatan Anggota Dewan Pers menjadi tidak memiliki dasar hukum karena Peraturan DP tentang Statuta bertentangan dengan putusan MK,” tandas Mandagi.
Jadi menurut Mandagi, putusan MK harus dibaca secara keseluruhan isi pertimbangan hukum Majelis Hakim MK dalam pokok perkara. “Permohonan kita memang ditolak namun substansinya justru sesuai harapan dan memperjelas kedudukan organisasi pers yang diakui MK dan Dewan Pers hanyalah fasilitator bukan pembentuk peraturan atau regulator,” terang Mandagi.
Terlebih menurut Mandagi, Mahkamah juga berpendapat, jikapun benar terdapat peraturan-peraturan pers yang pembentukannya dimonopoli oleh Dewan Pers untuk kepentingan Dewan Pers, atau disusun tidak sesuai dengan fungsi Dewan Pers, sebagaimana didalilkan para Pemohon, hal tersebut adalah persoalan implementasi norma dan bukan persoalan konstitusionalitas norma sehingga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya.
“Sehingga dari pertimbangan Hukum MK tersebut, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Pers Reformasi Indonesia (SPRI) memilih akan mengajukan upaya hukum lain agar penilaian yang dimaksud MK dapat dilakukan oleh lembaga hukum lainnya,” ujar Mandagi.
Mandagi juga menegaskan, pihaknya sebetulnya tidak lagi berniat melanjutkan diskursus tentang eksistensi Dewan Pers pasca putusan MK. Namun, lanjut Dia, Dewan Pers telah memulai dengan pernyataan negatif terhadap pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Wartawan oleh LSP Pers Indonesia yang didirikan SPRI dan berlisensi BNSP, serta bersertifikat negara berlogo garuda, yang dianggap ilegal.
“Maka SPRI terpaksa memiih memberi masukan kritis terhadap Dewan Pers. Terlebih putusan MK telah membuka kotak pandora terkait kewenangan organisasi pers, dan juga telah melahirkan Status Quo Dewan Pers, meskipun semua pihak belum sadar akan hal itu,” terang Mandagi.
Seluruh Organisasi Pers (40 Organisasi Pers menurut putusan MK) yang kini sudah berbadan hukum, menurut Mandagi, dapat mengajukan gugatan terkait SK Presiden yang menetapkan keanggotaan Dewan Pers periode 2022-2025.
“Karena kerugian organisasi-organisasi pers tersebut, termasuk SPRI, baru diketahui setelah ada putusan MK yang mengakui keberadaan 40 organisasi pers tersebut, kendati SK Presiden sudah lewat 90 hari, maka peluang gugatan itu sangat terbuka karena kerugian baru diketahui,” ungkap Mandagi, tanpa bermaksud memprovokasi organisasi-organsiasi pers lama dan organisasi pers baru yang berbadan hukum, melayangkan gugatan perdata terkait SK Presiden tentang Keanggotaan Dewan Pers periode 2022-2025.
Sebagai informasi, dalam waktu dekat ini tim hukum DPP SPRI tengah merampungkan Legal Opinion terkait putusan MK untuk diteruskan ke seluruh jajaran pemerintahan dan pemangku kepentingan.
“Agar Putusan MK bisa dipahami dan dijalankan sesuai ketentuan yang berlaku, sehingga tidak ada lagi pihak yang salah memahami putusan MK tersebut, termasuk legalitas SKW dan UKW,” ucap Mandagi Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia.[red*]
Social Header